B. Pengertian Mukjizat
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan
sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal
manusia. Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز
(a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari kata عجز
(‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah). Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain
amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة
(mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna
mubalaghah (superlatif).
Dengan
redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang
luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya
sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Dalam
al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali
dalam 21 surat dan 25 ayat.
Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:
أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته
“Sesuatu
(hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah
diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.”
Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah:
أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من �5;لمعارضة
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”
Sedangkan
menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan
kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan
mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan).
Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu
yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah
menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul,
dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang
kekal yakni al-Quran.
Maka
mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang
dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang
orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan
orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah
mukjizat.
Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.
Sedangkan
menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu
sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
- Hal atau peristiwa yang luar biasa. Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
- Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi. Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
- Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian. Tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelumnya.
- Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.
C. Macam-Macam Mukjizat
Secara
garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu
mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang
bersifat ‘aqliyah (rasional). Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya
merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi
dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan
risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah
sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian
dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi
Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa
atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi,
terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan
wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw,
sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh
akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu
tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap
orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.
Perbedaan
ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi
Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena
itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut,
tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang
diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti
kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang
yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua,
manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi
sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus
sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan
terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap
kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan
lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau
melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau,
makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang
beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi
pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah
terjadi.
Namun
demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa
dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya,
selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat
nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk
memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping
membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.
D. Bentuk dan Tahapan Tantangan al-Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan
ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan,
ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau
orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini
dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy.
Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
1.
Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan
seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya,
balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat
al-Thuur ayat 34.
2.
Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk
mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai
surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat
Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.
Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika
mereka termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam
satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang
orang-orang kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran,
maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu”
(yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun
yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam
ayat diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak
mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
Kedua,
Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh
surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt.,
dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ
مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan
mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”,
Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya
selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata
مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam
ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi
Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh karenanya Allah
menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka
mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah
cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua
inipun tidak sanggup mereka layani.
Ketiga,
Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu
surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam
surat Yunus ayat 38,
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau
patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah
(kalau benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan
panggillah siapapun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
Keempat,
Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan
tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir
sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah
ayat 23,
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya
dan panggillah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang
yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat
23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan
ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat
(fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin
min mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”,
sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan
sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata
من(min) atau “lebih kurang”.
Memang
sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun
al-Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini
dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,
قُلْ
لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ
هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah
(hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan
demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata
tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama
orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak
menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran
yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang
ummi.
E. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Quran
Para
ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk
mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi
karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah
(semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu,
sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.
Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a.
Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah
sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang
tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk
prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu
terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai
sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung
dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c.
Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar
dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat
hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk
mengetahuinya.
d.
Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah
keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang
terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam
menutup setiap surat.
Imam
al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh
segi kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya
Manahilul Irfan mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.
Perbedaan
pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan
kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak
hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan. Adapun
aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
1. Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan bahasa Arab.
2. Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
3. Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkan sesamanya.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang dikabarkannya.
8. Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya.
9. Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.
Uraian singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Susunan bahasanya yang indah.
Susunan
gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena
al-Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika
al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan
dalam irama dan ritmenya.
Cendikiawaan
Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran,
menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana
setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan
bersuka-cita”.
2. Uslubnya yang menakjubkan.
Al-Quran
muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang
Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya.
Didalamnya terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam
ucapan manusia.
3. Keagungannya.
Al-Quran
mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan
manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan
al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan
hati-hati yang keras.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna.
Al-Quran
menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma
keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial
dan kemasyarakatan. Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga,
menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan (demokrasi) dan musyawarah.
5. Berita tentang hal-hal yang gaib.
Al-Quran
mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian
masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah
demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini
yang belum diketahui manusia.
6. Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.
Al-Quran
memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum
yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan
oleh ilmu pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak
bertentangan dengan tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu
alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.
7. Menepati janji.
Al-Quran
senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya
serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak
seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas
yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar,
menolong agama Allah, dan sebagainya.
8. Terkandung ilmu pengetahuan yang luas.
Al-Quran
datang dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum
(undang-undang), etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam
pendidikan dan pengajaran, politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9. Memenuhi segala kebutuhan manusia.
Al-Quran
datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi
luwes, dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat
dan masa.
10. Berkesan dalam hati.
Al-Quran
dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang
sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin
Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah
orang-orang yang paling kejam terhadap kaum muslimin tetapi disebabkan
mendengarkan beberapa ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof
Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran
dengan khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar
beriman kepada Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan
semua mukjizat nabi-nabi terdahulu.
F. Paham As-Sharfah
As-Sharfah
terambil dari akar kata صرف (Sharafa) yang berarti memalingkan, dalam
pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam
al-Quran, sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu.
Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah
lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.
Berbicara
tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan
mu’tazilah yang oleh Mustafa Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan
yang berargumentasi” mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-Quran pada
dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu semata-mata
melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap
para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja
memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga
malahan membelenggu kefasihan lidah mereka.
Sementara
al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu
adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang
mereka miliki yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.
Jika
kita perhatikan kedua pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran
bukan merupakan mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena
dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.
Dalam
hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian
I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara
keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini
an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat
terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya
tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum
muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun
sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi,
diantaranya adalah Abu Ishak al-Isfariyini.
Dalam
pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu
hal yang membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah
menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah,
maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang
mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan
apapun atas kalam yang lain.
Selain
Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad
Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa dipertanggung
jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena
beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam al-Quran itu sendiri.
2.
Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur
melemahkan bukan kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya
kita memotong lidah seseorang kemudian kita paksa dia bicara.
3.
Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka
pasti sudah malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk
berdakwah.
4.
Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka
berbicara tegas pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak
ramai.
5.
Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan
bisa menandingi al-Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam
sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan bisa menerangkan
kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !