Mengapa abu hasan asy'asri keluar dari muktazilah - Kumpulan
Headlines News :
Home » » Mengapa abu hasan asy'asri keluar dari muktazilah

Mengapa abu hasan asy'asri keluar dari muktazilah

Written By Unknown on Jumat, 23 November 2012 | 22.44


Mengapa Abu Hasan Asy'asri Keluar dari Mu'tazilah?

Pada permulaan abad keempat hijriyah di kota Basrah, Abul Hasan Al-Asy’ari bangkit mempertahankan akidah Ahlu Hadis. Ia menolak keyakinan mazhab Mu’tazilah. Dan aliran mazhabnya meluas serta menjadi populer di kalangan Ahlu Sunnah.
1. Kepribadian dan karya ilmiah Abul Hasan Al-Asy’ari
Abul Hasan Ali bin Ismail Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H (permulaan Ghaibah Sugra’). Ia wafat di Bagdad pada tahun 324 atau 330H. Ayahnya, Ismail bin Ishak yang terkenal dengan sebutan Abi Basyar, merupakan pengikut Ahlu Hadis. Oleh karenanya, Asy’ari sejak kecil terdidik dengan akidah Ahlu Hadis. Saat menginjak remaja, ia cenderung menganut aliran Mu’tazilah. Ia menganut aliran ini sampai berumur empat puluh tahun. Namun setelah itu, ia kembali bangkit untuk mempertahankan akidah Ahlu Hadis. Asypi mengenai Asy’ari berkata: “Asy’ari saat kanak-kanak adalah seorang yang saleh dan alim. Dan ketika menjelang remaja, ia menjadi pengikut Mu’tazilah. Kehidupannya mewujudkan cerminan kesempurnaan seorang insan yang mudah dilukiskan dengan kata-kata.[1]
Pengikut Asy’ari terlalu membesar-besarkan dalam memuji kezuhudan dan ibadahnya. Bahkan mereka menukil cerita-cerita buatan tentangnya.[2] Dari hasil karyanya dapat kita simpulkan bahwa Asy’ari adalah seorang pemikir yang cemerlang, berbakat dan peneliti ulung. Ia juga seorang yang jenius. Ia berusaha dengan sangat sungguh-sungguh dalam menyelesaikan perbedaan pendapat antara Mu’tazilah yang rasionalis dan Ahlu Hadis yang mementingkan teks lahiriah (dhohir nash). Henry Curbon, seorang ilmuwan Perancis, mengenai hal ini berkata: “Kalaupun usaha Asy’ari bisa dianggap usaha yang cukup berhasil, tetapi dikarenakan kurangnya kemampuan dalam menyelesaikan masalah metafisik, tetap saja usahanya dianggap mengalami kegagalan. Ia telah berusaha keras menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai Al-Qur’an dari sisi huduts (baru/makhluk) dan qadim (dahulu/azali).[3]
Asy’ari adalah seorang ahli pidato dan ahli debat. Kedua keahlian tersebut mempunyai peranan dalam keberhasilan dan ketenarannya. Pertama, debatnya yang paling terkenal dengan Abu Ali Jubba’i. Dan yang kedua, pidato-pidatonya setiap hari Jumat di masjid Jami’ Basrah. Di samping itu, ia adalah seorang penulis andal. Ia juga menyebarkan akidah dan pendapatnya. Ibnu Asakir menyebutkan bahwa ada 98 judul buku yang ditulis oleh Asy’ari sampai tahun 320H. Di antara karyanya tersebut, ada empat buku yang terkenal. Adapun judul empat buku tersebut adalah:
1. Maqalat Islamiyin, merupakan hasil karya tulisnya yang paling terkenal. Buku ini tergolong buku rujukan dalam ilmu Milal wa Nihal (studi agama dan mazhab). Berbeda dengan pendapat yang terdapat di buku Tarikh Falsafah dar Jahan e Islami[4], buku Maqalat Islamiyin ini bukanlah hasil karya pertama dalam bidang ilmu tersebut. Hal ini dikarenakan sebelumnya telah ada yang menulis buku semacam itu. Mereka adalah Sa’ad bin Abdullah Asy’ari (wafat 301H) dengan bukunya yang berjudul Al-Maqalat wa Al-Firaq dan Nubakhti dengan bukunya yang berjudul Al-Ara wa Diyanat.
2. Istihsan Al-Khaudh fi Ilmi Al-Kalam. Dari judulnya tak dapat disangkal lagi bahwa buku ini ditulis untuk menolak ajaran aliran yang menganut zahir nas saja. Argumen-argumen teologinya dianggap bid’ah dan haram. Buku ini berulang kali dicetak secara terpisah dari Al-Luma’. Terkadang juga dicetak bersamaan dengan Al-Luma’.
3. Al-Luma’ fi Al-Radi ala Ahli Al-Zig wa Al-Bada’.
4. Al-Ibanah ‘an Ushuli Al-Diyanah. Kedua buku tersebut mempunyai perbedaan. Adapun perbedaan yang terpenting adalah: pertama, dalam buku Al-Luma’ menggunakan metode argumen aqli (rasional). Tetapi dalam buku Al-Ibanah menggunakan metode argumen naqli (riwayat). Perbedaan kedua, Al-Ibanah ditulis berdasarkan akidah dan pendapat Hanbali dan Ahlu Hadis, bahkan membelanya. Tetapi Al-Luma’ ditulis untuk membuktikan akidah Asy’ari itu sendiri, tanpa memberikan simpatik pada pendapat dan akidahnya Ahlu Hadis.
2. Penyebab Keluarnya Asy’ari dari mazhab Mu’tazilah
Ada banyak pendapat mengenai alasan kenapa Asy’ari keluar dari mazhab Mu’tazilah. Salah satunya adalah pendapat Syahrestani yang mengatakan bahwa hal itu dikarenakan debat Asy’ari dengan gurunya Abu Ali Jubba’i. Adapun alasan lainnya, dikarenakan ketidakmampuan gurunya dalam menjawab kritikan-kritikannya. Seperti dikatakan bahwa: “Mu’tazilah dan Salafi di sepanjang masa selalu berbeda pendapat mengenai sifat Allah. Salafi yang terkenal dengan Sifatiyah-nya, tidak menggunakan metode kalam (teologi) dalam menolak pendapat Mu’tazilah. Mereka cukup dengan meyakini dari perkataannya saja dan berpegang dengan zahir Al-Qur’an dan riwayat. Sampai terjadilah perdebatan antara Abul Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya Abu Ali Jubba’i tentang masalah husn wa qubh (kebaikan dan keburukan). Asy’ari meyakinkan pendapatnya di hadapan sang guru. Dan pada akhirnya, Asy’ari memisahkan diri darinya. Ia menggunakan metode salaf dan juga metode kalam untuk mempertahankan akidahnya.”[5]
Henry Curbon berpendapat bahwa ada dua penyebab perubahan arah pandang Asy’ari ini, yaitu:
1. Cara berpikir Mu’tazilah yang berlandaskan akal murni ini berujung kepada ketidakbermaknaan agama. Hal ini dikarenakan, akal tanpa batasan apapun menjadi pengganti iman. Di saat akal lebih luas cakupannya dari musalamat din (hal-hal yang sudah sangat jelas dan disepakati oleh semua mazhab dan agama), lalu apa faidahnya iman kepada Tuhan dan sesuatu yang turun dari-Nya?
2. Menurut pandangan Al-Qur’an, iman kepada gaib termasuk prinsip penting agama itu sendiri. Iman kepada gaib lebih luas cakupannya dari pada argumen-argumen akal. Oleh karenanya, kepercayaan ini tidak sesuai dengan akal sebagai argumen mutlak dalam wewenang agama terkait prinsip iman kepada gaib. Tetapi dalam mazhab Asy’ari, di samping cakupan argumen yang harus digunakan untuk akidah dokmatis serta usuluddin, argumen akal juga mempunyai kedudukan penting. Berbeda dengan aliran penganut zahir nas, mereka tidak menganggap bid’ah maupun ateis dalam penggunaan dalil akal, meskipun akal tidak dikenal sebagai hujah mutlak bila dihadapkan pada iman serta musalamat din.[6]
Tetapi tidak satupun dari dua cara berpikir Mu’tazilah tersebut yang benar. Karena mereka mengedepankan akal daripada penampakan maupun fenomena agama, bukannya musalamat din. Mereka juga menganggap bahwa akal sebagai hujjah lazim (bukti yang penting), bukannya hujjah kofi (bukti yang cukup). Yang paling utama dari mazhab Mu’tazilah ini adalah ashlu husn wa qubh akli (Prinsip kebaikan dan keburukan secara akal). Pernyataan mereka dalam masalah ini adalah ijabe juz’i (penegasan secara parsial), bukannya ijabe kuli (penegasan secara umum).
Berkaitan dengan penyebab kedua di atas, Curbon masih rancu membedakan antara prinsip iman kepada gaib dan pengetahuan hakiki. Sesuatu yang harus diimani adalah waqiiyat gaib (realitas alam gaib). Sebagian dari realitas, dapat dibuktikan melalui akal secara murni. Namun sebagian lagi dibuktikan melalui syari’ah, dan ini lebih luas cakupannya daripada akal. Pengetahuan hakiki adalah gaib. Oleh karenanya, kemampuan akal biasa untuk memahami pengetahuan tauhid yang tinggi tersebut adalah terbatas. Untuk itu, masih dibutuhkan wahyu sebagai “akal unggul” atau “akal superior” untuk dapat memahaminya.
Oleh sebab itu, keyakinan bahwa akal mampu secara independen untuk memahami lautan pengetahuan, meskipun dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya, tidak berarti kontradiksi dengan kebutuhan kita akan hidayah wahyu. Tidak mudahnya menangkap realita yang sudah sangat jelas ini membuat takjub para peneliti yang berpikir realistis, seperti Curbon.
3. Alasan lain yang sempat diperbincangkan mengenai masalah ini, adalah Asy’ari bangkit untuk memperbaiki akidah Ahlu Hadis dan menolak pendapat Mu’tazilah yang pada waktu itu menjadi pola pikir mayoritas kaum Muslim. Akidah Mu’tazilah telah menyebar dalam pola pikir masyarakat Muslim pada zaman itu. Di samping itu, akidah ini juga sudah bercampur dengan pemikiran sesat dan kesyirikan, seperti keyakinan tajsim (akidah yang meyakini Tuhan itu seperti benda/materi), penyamaan Allah dengan sesuatu dan faham Jabariyah (determinisme). Menurut Asy’ari, perbaikan akidah tersebut tidak mungkin dilakukan, kecuali dengan jalan secara terang-terangan keluar dari mazhab Mu’tazilah dan secara terang-terangan pula setia kepada akidah Ahlu Hadis.[7]
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Asy’ari sebenarnya tidak menentang akidah Mu’tazilah dan metode pemikiran mereka. Keluarnya ia dari mazhab ini semata-mata hanyalah sebuah penerapan ilmu kalam dan bertujuan demi kemaslahatan umat Islam. Ia berharap dengan cara inilah, kiranya ia bisa membebaskan mereka dari bahaya tajsim dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu). Tetapi hal ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang ada, karena:
1. Pertama, mujasemeh (kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan berjasad) dan mutasyabeh (kelompok yang berkeyakinan bahwa Tuhan mirip dengan sesuatu) adalah dua kelompok Ahlu Hadis yang sering disebut juga dengan Husywiyah (kelompok tradisional). Akidah kelompok ini tidak diterima oleh kelompok-kelompok Ahlu Hadis yang lainnya. Ibnu Khazimah berkata: “Sesungguhnya kami menyifati Allah seperti apa yang Allah sifati terhadap diri-Nya sendiri. Dan kami mengakui dengan lisan kami. Kami membenarkankannya dengan sepenuh hati kami tanpa harus kami menyerupakan dengan salah satu makhluk-Nya. Karena sesungguhnya, Dia Maha Mulia dan Agung dari semua penyerupaan kita terhadap para makhluk-Nya.”[8]
Kami menyifati Allah sebagaimana Dia menyifati diri-Nya sendiri. Dan kami juga mengimani serta mengucapkannya dengan lisan, meski kami tidak menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
2. Kedua, hasil penelitian dari karya-karya Asy’ari yang ada menunjukkan bahwa ia secara hakikat menentang akidah dan prinsip Mu’tazilah. Dan penentangan ini tidak secara zahir saja.
4. Mengenai hal ini, Para penulis buku sejarah filsafat Islam mengatakan bahwa: “Kemungkinan alasan yang lain adalah adanya perpecahan dan ketidakbersatuan umat Islam. Dan hal ini dapat menimbulkan bahaya sehingga dapat menghancurkan agama itu sendiri. Di satu sisi Asy’ari adalah seorang yang saleh dan berbudi luhur. Ia tidak rela jikalau agama Allah dan sunah Rasul-Nya menjadi korban akidah Mu’tazilah yang hanya berdasarkan akal murni saja. Oleh karenanya, ia terpaksa menunjukkan akidahnya bahwa Islam yang sahih tidak seperti itu. Ia juga tidak rela kalau agama Allah menjadi korban Ahlu Hadis dan penyebar faham tasybih. Karena mereka hanya melihat zahir nas saja, bukan memandang ruh dan hakikat sebenarnya. Hal ini membuat agama menjadi terkesan kaku, karena tidak menerima akal, juga tidak memuaskan rasa keagamaan itu sendiri. Asy’ari memilih metode keduanya, yaitu metode tengah-tengah antara akal dan nas. Ia berkeyakinan bahwa metode itulah yang dapat membebaskan Islam dan kam Muslimin.”[9]
3. Penelitian dan Kajian
Dalam hal ini, penting kiranya kita memisahkan dua permasalahan yang ada secara jelas. Pertama, mengapa Asy’ari memisahkan diri dari aliran Mu’tazilah. Kedua, alas an apa yang membuatnya menentang akidah Mu’tazilah dan bahkan membentuk aliran baru?
Untuk jawaban pertanyaan pertama, ia berkeyakinan bahwa akidah dan pendapat Mu’tazilah mengenai masalah-masalah kalam yang beragam tidaklah benar, terutama masalah tentang tauhid dan keadilan. Adapun alasan tersebut, tertuang dalam hasil-hasil karya kalam-nya. Hal ini dapat kita lihat dalam buku Milal wa Nihal. Begitu juga perdebatan dengan gurunya, Abu Ali Jubba’i, seputar masalah ashlah (yang paling baik) yang populer.
Adapun mengenai alasan ia menentang Mu’tazilah secara terang-terangan, masih belum jelas. Tetapi apabila kita tinjau dari pendapat-pendapatnya mengenai masalah kalam yang menjadi perdebatan antara Mu’tazilah dan Ahlu Hadis, serta alasan ia menentang keduanya, dapat dirasakan bahwa Asy’ari menawarkan akidah tersebut untuk memperbaiki akidah agama dari kritikan-kritikan yang tertuju pada Mu’tazilah dan juga Ahlu Hadis. Oleh karenanya, ia memilih jalan tengah-tengah. Tetapi pemikiran Asy’ari dalam menentang Mu’tazilah lebih kuat daripada yang lainnya. Lalu apakah Asy’ari bisa sukses dalam mengemban misi ini atau tidak, maka hal ini akan menjadi jelas pada pembahasan berikutnya.
Mungkin dikarenakan kecenderungan untuk mereformasi keadaan yang ada, maka ia dalam masalah mazhab fikih Ahlu Sunnah, lebih memilih posisi netral. Oleh karenanya, sebagian orang menganggapnya bahwa ia adalah seorang pengikut Syafi’i. Sebagian lain juga menganggapnya ia seorang penganut Maliki maupun Hanbali. Nampaknya ia berpikiran bahwa ia dapat menarik simpatik dan perhatian dari berbagai mazhab serta aliran dalam Ahlu Sunnah dengan cara tersebut. Seperti Ibnu Asakir menukilnya bahwa ia berkata: “Semua adalah mujtahid, dan semuanya ada dalam kebenaran. Dalam masalah usul (prinsip) tidak ada perbedaan. Perbedaan di antara mereka terletak pada masalah furu’ (cabang) saja.”[10] www.taghrib.ir


[1] Seir Falsafah dar Iran, Iqbal Lahuri, hal. 57.
[2] Silakan merujuk ke: Buhuts fi Al-Milal wa Al-Nihal, jld.2, hal. 16-17.
[3] Tarikh Falsafah Islami, Henry Curbon, penerjemah Asadullah Mubasyiri, hal. 161-162.
[4] Silakan merujuk ke: Tarikh Falsafah dar Jahan e Islami, Hana Alfa Khuri, Khalil Al-Jar, penerjemah Abdul Muhammad Ayati, jld.1, hal. 147.
[5] Milal wa Nihal, Syahrestani, jld. 1, hal. 32.
[6] Tarikh Falsafah Islami, hal. 158.
[7] Buhuts fi Al-Milal wa Al-Nihal, jld. 2, hlm. 23.
[8] At-Tauhid wa Itsbati Sifat e Rabb, hal.11.
[9] Tarikh Falsafah dar Jahan e Islami, jld.1, hal 146-147.
[10] Ibid, hal. 147.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

naruto

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Kumpulan - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template